'cookieChoices = {};' Nasihat Islami Untuk Kesehatan Jiwa dan Raga.

Thursday, March 20, 2025

Menjauhi Ambisi Jabatan: Petunjuk Islam dalam Memilih Pemimpin




Kepemimpinan adalah amanah besar yang bukan sekadar posisi atau kehormatan, melainkan tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ. Sayangnya, dalam dunia modern, jabatan sering kali menjadi incaran yang diperebutkan dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.

Islam telah memberikan tuntunan jelas tentang bahaya meminta jabatan, karena kepemimpinan bukanlah sesuatu yang boleh dikejar dengan ambisi pribadi. Rasulullah ﷺ memperingatkan bahwa mereka yang mengincar jabatan akan dibiarkan mengelolanya sendiri tanpa pertolongan Allah ﷻ, sementara mereka yang diberi amanah tanpa memintanya akan mendapatkan bimbingan dan kemudahan dari-Nya.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas bagaimana Islam memandang kepemimpinan sebagai tanggung jawab berat, dalil-dalil yang menegaskan bahayanya meminta jabatan, serta prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan sebelum seseorang menerima posisi kepemimpinan. Semoga kita dapat memahami esensi kepemimpinan yang sejati dan menghindari ambisi duniawi yang dapat menjerumuskan kita ke dalam penyesalan di akhirat.

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang boleh diminta atau dikejar dengan ambisi. Rasulullah ﷺ telah memberikan petunjuk bahwa meminta jabatan justru akan mendatangkan beban besar di sisi Allah ﷻ. Sebaliknya, mereka yang tidak mengejar jabatan akan diberikan kemudahan dan pertolongan oleh-Nya.


Bahaya Meminta Jabatan dalam Islam


Banyak orang di zaman sekarang berlomba-lomba mencari jabatan, bahkan rela mengeluarkan harta agar terpilih. Padahal, Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah amanah besar yang harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Rasulullah ﷺ bersabda:



يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا


"Wahai ‘Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan. Karena jika engkau diberi jabatan dengan memintanya, maka engkau akan diserahkan kepada (ambisimu sendiri). Namun, jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya, maka engkau akan diberi pertolongan atasnya."

(HR. Bukhari No. 6616, Muslim No. 1652)


Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang meminta jabatan akan dibiarkan mengurusnya sendiri tanpa pertolongan Allah. Sebaliknya, jika seseorang diberikan jabatan tanpa meminta, maka Allah akan memberikan pertolongan dalam menjalankan amanah tersebut.


Jabatan sebagai Beban yang Berat

Rasulullah ﷺ juga memperingatkan bahwa kepemimpinan bukan sekadar kehormatan, melainkan beban yang bisa membawa seseorang kepada kehancuran jika tidak dikelola dengan adil dan amanah:


إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَةُ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ


"Kalian akan sangat berambisi terhadap jabatan, padahal kelak ia akan menjadi penyesalan dan kesedihan pada hari kiamat. Ia adalah kenikmatan di awalnya, namun keburukan di akhirnya."

(HR. Bukhari No. 7148)


Banyak pemimpin yang menikmati jabatan di dunia, tetapi di akhirat mereka akan menyesal jika tidak menggunakannya untuk keadilan dan kemaslahatan umat.


Dalil dari Al-Qur'an: Kepemimpinan sebagai Amanah

Allah ﷻ menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang hanya layak diemban oleh orang yang memiliki ilmu dan keadilan:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا


"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

(QS. An-Nisa: 58)


Dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar amanah kepemimpinan hanya diberikan kepada yang berhak, bukan kepada mereka yang hanya berambisi untuk berkuasa.


Belajar Sebelum Menjadi Pemimpin

Meskipun meminta jabatan dilarang, Islam tetap menganjurkan setiap Muslim untuk mempersiapkan diri dengan ilmu dan kefahaman, jika suatu saat mereka diberikan tanggung jawab kepemimpinan. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

"Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."

(HR. Bukhari No. 59)


Seorang pemimpin harus memiliki ilmu, keadilan, dan amanah agar tidak menjerumuskan diri sendiri dan umatnya ke dalam kebinasaan.


Kesimpulan

  • Islam melarang meminta jabatan karena akan menjadi beban yang berat di sisi Allah.

  • Kepemimpinan adalah amanah yang harus diberikan kepada orang yang berilmu dan adil. 

  • Orang yang meminta jabatan akan dibiarkan Allah mengurusnya sendiri, sementara yang diberikan tanpa meminta akan mendapat pertolongan dari-Nya. 

  • Kepemimpinan yang tidak dijalankan dengan amanah akan menjadi penyesalan besar di akhirat.

Sebelum menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki kefahaman dan kesiapan agar tidak membawa kehancuran.


Semoga kita selalu diberi pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab, serta dijauhkan dari ambisi duniawi yang hanya mengejar jabatan tanpa kesiapan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Wednesday, March 19, 2025

Biasakan mengucapkan "Subhanakallahumma wa bihamdika, ....." ( Bagian 2 )

 





GAMIS TWIL ORY MASAKINI/ELEGANT TERLARIS

Ada kalanya kita merasa telah berbuat baik, namun tanpa sadar, ada hati yang terluka karenanya. Ada saat ketika kita berniat menolong, tetapi justru membuat seseorang merasa direndahkan. Ada pula momen di mana kita yakin telah berada di jalan yang benar, namun di hadapan Allah, niat kita ternyata telah melenceng.


Sebaliknya, ada kejadian di mana kita merasa telah melakukan kesalahan besar, tetapi justru kesalahan itulah yang membuka mata kita dan orang lain. Ada saat ketika kita menyesali kata-kata yang terucap, tetapi ternyata justru kalimat itulah yang menjadi pemantik perubahan dalam hidup seseorang.


Pernahkah kita menyampaikan nasihat dengan maksud baik, tetapi kata-kata kita malah melukai hati orang lain?

Pernahkah kita membantu seseorang, namun di baliknya terselip rasa bangga yang tak kita sadari?

Pernahkah kita berkata jujur, tetapi kejujuran itu justru menyakiti tanpa perlu?

Pernahkah kita memilih diam demi menjaga diri, tetapi diam itu malah disalahartikan sebagai sikap tak peduli?

Pernahkah kita mengambil jalan yang keliru, tetapi ternyata jalan itu justru mendekatkan kita kepada Allah?


Sering kali, manusia terperangkap dalam persepsi tentang kebaikan dan keburukan. Apa yang kita anggap baik belum tentu diridai Allah dan diterima dengan baik oleh manusia. Sebaliknya, sesuatu yang tampak buruk bisa jadi merupakan jalan yang mengantarkan kita pada kebaikan sejati.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

Rasulullah ﷺ membaca dzikir ini setelah setiap shalat, majelis, bahkan setelah membaca Al-Qur'an, sebagai penyempurna dan penghapus kekhilafan.


Maka, siapa kita jika merasa semua yang kita lakukan sudah pasti benar?

Siapa kita jika merasa bahwa ucapan kita selalu membawa manfaat?

Siapa kita jika merasa bahwa amal kita sudah cukup tanpa memohon ampunan kepada Allah?


  • Mungkin kita pernah berkata dengan niat baik, tetapi menyinggung hati orang lain.
  • Mungkin kita pernah membantu seseorang, tetapi dalam hati terselip rasa bangga.
  • Mungkin kita pernah beribadah dengan penuh kekhusyukan, tetapi tanpa sadar ada perasaan lebih baik dari yang lain.


Dzikir ini mengajarkan kita untuk mengakhiri setiap amalan dengan kesadaran bahwa kita tidak sempurna. Bahwa ada yang luput dari niat kita. Bahwa ada yang mungkin salah dalam tindakan kita.


Dan hanya dengan memohon ampunan kepada Allah, amal kita akan diterima dengan sempurna.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلَا تَلَا قُرْآنًا، وَلَا صَلَّى صَلَاةً، إِلَّا خَتَمَ ذَٰلِكَ بِكَلِمَاتٍ. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ كَلِمَاتٍ تَقُولُهُنَّ؟ قَالَ: نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْرًا خُتِمَ لَهُ طَابِعٌ عَلَى ذَٰلِكَ، وَمَنْ قَالَ شَرًّا كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ."

(HR. Muslim No. 484 dan Abu Dawud No. 4850)


Mari kita renungi:

Jika Rasulullah ﷺ yang telah dijamin surga saja selalu menutup amal dengan istighfar, bagaimana dengan kita?


  • Jangan biarkan kebaikan yang kita lakukan berubah menjadi dosa karena sombong. 

  • Jangan biarkan ibadah kita kehilangan ruh karena merasa cukup. 

  • Jangan biarkan perkataan kita melukai tanpa sadar.


Maka, setiap selesai berbuat, akhirilah dengan istighfar dan tobat. Agar amal yang kita lakukan benar-benar diterima oleh Allah.

Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.



Menyempurnakan Amal dengan Kesadaran dan Istighfar

Kehidupan ini penuh dengan warna: ada kebaikan yang kita niatkan dengan tulus, tetapi mungkin melukai. Ada kesalahan yang kita sesali, tetapi justru menjadi jalan menuju perbaikan. Ada kebanggaan dalam beribadah, yang tanpa sadar justru menjauhkan kita dari keikhlasan.

Maka, bagaimana kita bisa memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil benar-benar baik di sisi Allah?

Di sinilah pentingnya kesadaran—kesadaran bahwa manusia tidak luput dari kekhilafan. Dan kesadaran ini harus disertai dengan istighfar dan tobat agar amal yang kita lakukan menjadi sempurna di hadapan Allah ﷻ.


Kapan Dzikir Ini Sebaiknya Dibaca?

Setelah Majelis → Agar segala perkataan yang kurang baik dalam pertemuan itu diampuni oleh Allah.


  • Setelah Shalat → Sebagai bentuk penyempurnaan ibadah.


  • Setelah Membaca Al-Qur’an → Memohon agar bacaan kita benar-benar membawa manfaat dan berkah.


  • Sebelum Tidur → Agar hari yang telah kita lalui ditutup dengan istighfar, siapa tahu itu hari terakhir kita di dunia.


Kesimpulan: Jangan Pernah Merasa Cukup


Jangan merasa bahwa ibadah kita sudah cukup, bahwa kebaikan kita sudah sempurna, atau bahwa amal kita sudah pasti diterima. Jika Rasulullah ﷺ yang sudah dijamin masuk surga saja masih terus beristighfar, bagaimana dengan kita?


Setiap amal, sekecil apa pun, bisa bernilai besar atau bisa sia-sia tergantung pada niat, cara, dan penyempurnaannya.


Maka mari kita biasakan:

Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.

Agar setiap langkah kita selalu ditutup dengan kesadaran, istighfar, dan permohonan tobat.

Semoga Allah menerima amal kita, mengampuni kesalahan kita, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang senantiasa sadar bahwa hanya dengan rahmat-Nya lah kita bisa selamat.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Popular Posts