'cookieChoices = {};' Nasihat Islami Untuk Kesehatan Jiwa dan Raga.

Friday, August 15, 2025

Tiga Ilmu di Sisi Allah dan Hikmah Allah Tidak Mewajibkan Semua Ilmu Dunia

 





Tiga Ilmu di Sisi Allah dan Hikmah Allah Tidak Mewajibkan Semua Ilmu Dunia

Pengantar

Di antara sekian banyak bidang ilmu yang tersebar di muka bumi, Allah ﷻ dengan rahmat dan hikmah-Nya hanya menjadikan tiga jenis ilmu sebagai inti yang wajib dipelajari setiap Muslim. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya bahwa selain tiga ilmu itu, semua hanyalah tambahan keutamaan.

Makna dari sabda ini sangat dalam: Allah hanya akan menanyakan tiga ilmu itu saja di akhirat. Ilmu-ilmu lain, meskipun bermanfaat, tidak akan menjadi pertanyaan wajib di hadapan-Nya.

Ini adalah karunia yang sangat besar. Mengapa?
Karena seandainya Allah mewajibkan semua ilmu dunia untuk dikuasai setiap orang — ilmu kedokteran, teknik, astronomi, hukum, ekonomi, seni, pertanian, dan ratusan bidang lainnya — maka tidak ada satu pun manusia yang akan mampu memenuhinya.
Jika semua itu diwajibkan dan akan ditanya di akhirat, dapat dipastikan seluruh manusia akan gagal dan masuk neraka, karena keterbatasan akal dan waktu kita untuk mempelajari segalanya.

Allah ﷻ berfirman:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS. Al-Baqarah: 286)

Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban mempelajari ilmu dibatasi pada hal-hal yang manusia sanggup memikulnya. Dan tiga ilmu yang disebutkan Rasulullah ﷺ adalah kewajiban yang pasti mampu dipelajari oleh setiap Muslim, dengan kadar yang dibutuhkan untuk menjalankan agamanya.


Realita yang Memprihatinkan

Namun kenyataan di kehidupan kita saat ini begitu memprihatinkan. Banyak orang yang mengejar ilmu dunia mati-matian, hingga di rumahnya terdapat perpustakaan besar, rak-rak penuh buku filsafat, ekonomi, teknologi, sejarah, bahkan novel tebal berjilid-jilid. Tetapi Al-Qur’an yang hanya satu mushaf, 30 juz itu nyaris tidak dibaca dan tidak dipahami.

Kitab-kitab hadis yang menjadi sumber hukum Islam, seperti Kutubus Sittah (enam kitab hadis utama), untuk ukuran Indonesia yang mayoritas Muslim, hampir tidak disentuh, apalagi dipahami secara mendalam.

Mengapa bisa demikian?
Apakah mereka tidak takut akan datangnya hari ketika Allah bertanya:

“Apa yang kamu ketahui tentang kitab-Ku? Apa yang kamu ketahui dari sabda Nabi-Ku?”

Apakah mereka tidak yakin bahwa hari hisaban itu pasti datang dan tidak seorang pun akan bisa mengelak?

Allah ﷻ berfirman:

وَقِفُوهُمْ إِنَّهُم مَّسْـُٔولُونَ
"Tahanlah mereka (di Mahsyar), sesungguhnya mereka akan ditanya."
(QS. As-Saffat: 24)


Tiga Ilmu Utama yang Wajib Dipelajari

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْعِلْمَ ثَلَاثَةٌ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ: آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ
"Sesungguhnya ilmu itu ada tiga, selain itu hanyalah keutamaan: Ayat yang muhkam (Al-Qur'an), Sunnah yang tegak, atau faraidh yang adil."
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah)

Tiga ilmu itu dapat dirinci sebagai:

  1. Ilmu Al-Qur’an — mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi kitab Allah.
  2. Ilmu Sunnah Nabi ﷺ — memahami hadis-hadis shahih yang menjadi penjelas Al-Qur’an.
  3. Ilmu Faraidh — hukum-hukum syariat yang mengatur hak dan kewajiban, terutama dalam pembagian waris, dan hukum-hukum praktis lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan.


Gunakan Sisa Waktu untuk Ilmu yang Ditanya Allah

Ilmu-ilmu dunia tetap penting dan dianjurkan bagi sebagian umat (fardhu kifayah) demi kemaslahatan bersama. Tetapi jangan sampai kita mengorbankan ilmu yang akan ditanya Allah di akhirat demi mengejar ilmu yang tidak akan ditanya sama sekali.

Orang beriman yang cerdas adalah yang mempersiapkan jawaban sebelum ditanya, dan mempelajari ilmu yang pasti akan menjadi bahan hisab, sebelum waktunya habis.

Tuesday, August 12, 2025

Perjanjian Hudaibiyah: Jalan Damai Menuju Kemenangan

 




Dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad ﷺ, Perjanjian Hudaibiyah merupakan salah satu titik balik yang sangat penting. Ia bukan hanya kesepakatan damai antara kaum Muslimin dan Quraisy, tetapi juga menjadi siasat jangka panjang Rasulullah ﷺ untuk memperkuat posisi Islam tanpa pertumpahan darah. Namun untuk memahami pentingnya perjanjian ini, kita perlu melihatnya dalam rangkaian peristiwa besar sebelumnya: Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khaibar.



1. Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Hudaibiyah

Tahun ke-6 Hijriah, Nabi Muhammad ﷺ dan sekitar 1.400 sahabat berniat menunaikan umrah ke Makkah. Mereka tak membawa senjata perang, hanya perlengkapan musafir dan hewan sembelihan, sebagai bukti niat damai.

Namun, kaum Quraisy melarang masuknya kaum Muslimin ke Makkah dan mengirim pasukan untuk menghadang. Maka Rasulullah ﷺ dan para sahabat berhenti di sebuah tempat bernama Hudaibiyah, sekitar 20 km dari Makkah. Setelah proses diplomasi panjang, akhirnya kaum Quraisy mengirim Suhail bin Amr untuk berunding.

           Reaksi Para Sahabat: Emosi Membara

Umar bin Khattab bahkan berkata:

"Bukankah kita di atas kebenaran? Bukankah mereka orang-orang musyrik? Mengapa kita harus merendah kepada mereka?!"

Sahabat lainnya juga resah, seakan ingin berontak…

Namun…      Sikap Rasulullah ﷺ yang Luar Biasa

Nabi Muhammad ﷺ tetap tenang. Beliau melihat jauh ke depan.

Beliau bersabda:

"Aku adalah utusan Allah, dan Dia ( Allah)  tidak akan menyia-nyiakan aku."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan kelembutan dan kesabaran, Nabi ﷺ meminta Ali r.a. untuk menghapus tulisan "Rasulullah" dan menggantinya dengan "bin Abdullah".

Ketika Ali enggan, Rasulullah ﷺ sendiri yang menunjuk tulisan itu dan memintanya dihapus.

Inilah wujud pengendalian diri tertinggi. Tidak membalas dengan emosi, tapi dengan visi dan hikmah dari Allah.


Benar saja, turunlah Wahyu Allah SWT, sebagai Penyejuk Jiwa (QS Al-Fath: 26)

﴿ إِذْ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ وَكَانُوٓا۟ أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمًۭا ﴾

“(Yaitu) ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, yaitu kesombongan Jahiliah, maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin...(QS Al-Fath: 26)

Keadaan berbalik suasana yang tadinya hampir tidak bisa dikendalikan,  dengan kuasa Allah, Allah  menurunkan ketenangan dalam jiwa Rasulullah SAW beserta para Sahabat.


2. Isi Perjanjian Hudaibiyah

Meskipun tampak merugikan kaum Muslimin, Nabi ﷺ menerima perjanjian itu karena melihat hikmah besar di baliknya. Beberapa isi pokok perjanjian:


1. Gencatan senjata antara Quraisy dan kaum Muslimin selama 10 tahun.



2. Siapa pun yang datang dari Quraisy ke Madinah tanpa izin walinya, harus dikembalikan ke Makkah.

3. Sebaliknya, siapa pun dari Madinah yang lari ke kafir Quraisy  di Mekah, tidak dikembalikan.

4. Kaum Muslimin harus pulang ke Madinah dan baru boleh menunaikan umrah tahun depan selama 3 hari saja.

5. Suku-suku Arab bebas memilih bergabung ke pihak Quraisy atau Muslimin.

6. Makkah tak lagi mengganggu. Umat Islam bebas berdakwah ke seluruh jazirah. 

(Sehingga kesempatan ini dipergunakan untuk amar makruf. Islam pun tumbuh pesat, bahkan di luar dugaan. Memicu rasa ingin tahu bangsa Arab akan Islam, yang akhirnya membawa banyak orang masuk Islam).

 



3. Strategi dan Siasat Rasulullah ﷺ

  • Sikap Rasulullah ﷺ menerima isi perjanjian yang tampaknya berat itu membuat para sahabat gelisah. Namun, beliau memahami bahwa perjanjian ini membuka ruang strategis yang luar biasa:
  • Menunjukkan kepada bangsa Arab bahwa Islam adalah agama damai.
  • Memberi kesempatan untuk berdakwah tanpa tekanan perang.
  • Membebaskan umat Islam dari tekanan Quraisy agar bisa fokus menghadapi musuh lain, seperti Yahudi Khaibar.
  • Makkah tak lagi mengganggu. Umat Islam bebas berdakwah ke seluruh jazirah. (Sehingga kesempatan ini dipergunakan untuk amar makruf. Islam pun tumbuh pesat, bahkan di luar dugaan. Memicu rasa ingin tahu bangsa Arab akan Islam, yang akhirnya membawa banyak orang masuk Islam).

Allah SWT pun menyebut perjanjian ini sebagai “kemenangan yang nyata” (fath mubīn):

> إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata."

(QS. Al-Fath: 1)



4. Hubungan dengan Perang Badar, Uhud, dan Khaibar


🔸 Perang Badar (Tahun 2 H)

Perang besar pertama antara Islam dan Quraisy. Walau pasukan Muslimin jauh lebih kecil (313 orang), mereka menang besar. Hal ini mengangkat wibawa Rasulullah ﷺ dan membuat Quraisy merasa terhina.

📌 Perang Badar adalah fondasi kekuatan Islam yang membuat Quraisy mulai merasa gentar.

🔸 Perang Uhud (Tahun 3 H)

Kafir Quraisy menyerang balik dan kaum Muslimin menderita kekalahan karena ketidakdisiplinan pasukan pemanah. Namun kekalahan ini tidak menghancurkan semangat Islam.


📌 Uhud menjadi pelajaran penting bahwa kemenangan butuh kedisiplinan dan ketaatan penuh.

🔸 Perjanjian Hudaibiyah (Tahun 6 H)

Setelah Badar dan Uhud, hubungan dua pihak sangat tegang. Hudaibiyah adalah momen menurunkan ketegangan itu. Quraisy memilih jalan damai karena melihat kekuatan Islam tak bisa diremehkan.

📌 Hudaibiyah bukan akhir konflik, tapi jembatan menuju kemenangan besar.

🔸 Perang Khaibar (Tahun 7 H)

Dengan adanya perjanjian damai dengan Kafir Quraisy, Rasulullah ﷺ bebas menghadapi suku Yahudi di Khaibar yang sering berkhianat. Perang ini berakhir dengan kemenangan Islam.

📌 Perjanjian Hudaibiyah membuka ruang strategis untuk membersihkan ancaman lain.


5. Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makkah

Perjanjian Hudaibiyah dilanggar oleh Quraisy ketika sekutu mereka (Bani Bakr) menyerang Bani Khuza’ah (sekutu kaum Muslimin). Maka Nabi ﷺ menyiapkan pasukan besar dan menaklukkan Makkah secara damai (Fathu Makkah) pada tahun ke-8 H.

Tanpa perjanjian Hudaibiyah, kemenangan seperti ini tidak akan mungkin terjadi dengan cara damai.


6. Pelajaran Besar dari Perjanjian Hudaibiyah

Jangan terburu-buru menilai kekalahan atau kerugian. Di baliknya bisa jadi tersimpan kemenangan yang besar.

Kemenangan sejati adalah ketika kita bisa menahan diri demi tujuan yang lebih besar.

Strategi, kesabaran, dan visi jangka panjang adalah senjata utama perjuangan.

Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa tidak semua kemenangan diraih dengan pedang; sebagian diraih dengan akal dan kesabaran.


Penutup

Perjanjian Hudaibiyah mengajarkan kepada kita bahwa dalam perjuangan dakwah dan hidup, ada kalanya kita harus berhenti sejenak bukan untuk menyerah, tetapi untuk menang lebih besar. Apa yang tampak sebagai “kemunduran” bisa jadi adalah langkah awal menuju pembebasan yang hakiki — seperti yang terjadi pada Fathu Makkah.

> "Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari kalian, dan tangan kalian dari mereka di tengah Kota Makkah, setelah Dia memberi kemenangan kepada kalian atas mereka…”

                                        (QS. Al-Fath: 24)


Popular Posts