Hari Pancasila, momentum meningkatkan aplikasinya. Saatnya para Pemuka Bangsa dan cerdik cendekiawan negeri ini menoleh kembali kebelakang, mengapa kita memerlukan Pancasila. Apa yang diharapkan dari Pancasila. Apa yang tersirat dan tersurat di hati pendiri bangsa ini ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Didalam Pancasila kita mengharapkan persatuan bangsa. Kita mengharap warga bangsa sejahtera. Kita juga mengharap warga bangsa semua berTuhan Yang Maha Esa. Didalam berketuhanan, ada akhlaq, ada adab, ada tatakrama dan agama. Didalam agama ada adab ada akhlaq ada tatakrama yang mengatur kehidupan manusia di dunia. Yang mengatur tatakrama dalam agama bukan manusia tetapi Allah Swt sang pencipta manusia itu sendiri dengan jagad alam rayanya, pasti benarnya.
Sayang sekali, kalau melihat sejarah perubahan Pancasila dan susunannya terkesan "tergesa gesa".
Yaitu masalah yang paling krusial adalah kalimat : “…
dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya, ” ( Dikutip dari wikipedia, lihat dibawah)
Kalau diikuti sejarahnya, memang pantaslah saudara saudara dari golongan beragama selain Islam akan takut. Kalau kata atau phrase "syari'at Islam" dimasukkan sebagai Sila pertama.
Tapi mungkin akan menjadi lain kalau phrase "syari'at Islam" menjadi "syari'at Agama". Sehingga lengkapnya menjadi “… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at AGAMA bagi pemeluk-pemeluknya, ”
Mengapa ini perlu untuk dikemukakan karena "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila seolah dianggap simbolis semata sekarang ini, tidak ada "kewajiban" menjalankan syariat agama masing masing agama bagi pemeluknya.
Ditambah lagi perilaku " manusia zaman akhir", benci mati senang dunia. Sehingga ketamakan, keserakahan, tanpa moral merasuk pada manusianya, dan pasti akan diikuti oleh alam yang rusak "seolah marah" ulah manusia itu sendiri, semua karena jauh dari Tuhannya
Sementara Pak Jokowi pak Presiden mau " revolusi mental", mengapa tidak.
Apa yang menjadi kerisauan rakyat bawah, korupsi ( siperampok pengecut ) , terorisme, narkoba, minuman keras/ plus oplosan, intoleransi, sara, zina, pemerkosa, pembunuhan, pemerkosaan dan pembunuhan, penipuan, penyakit yang seram serama meregang nyawa warga, AID, HIV dan lainnya hampir tiap hari menghiasi negeri ini, bikin buluroma merinding. Semua kejadian yang menyeramkan ini hubungannya dengan agama. Allah Swt sudah mengatur itu semua, ada reward dan punishment nya dari Allah. Kalau rakyat tidak mempunyai keyakinan yang kuat pada agamanya, ya pemerintah pasti repot. Pemerintah berpayah payah mengurusi perut rakyatnya, kesejahteraan rakyatnya, tapi keyakinan beragama dari segelintir manusianya tak terurus, akan menjadi "duri yang beracun" bagi warga lain, yang ujungnya rakyat tidak akan merasa aman dan tidak merasa sejahtera.
Mudah mudahan tidak disalah artikan agar Hari Pancasila ini dijadikan momentum buat meningkatkan aplikasinya, untuk kenyamanan dan keamanan rakyat.
Semoga menjadi bahan pertimbangan.
ooOoo
Rumusan-rumusan Pancasila
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Pancasila sebagai dasar
negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Hal
ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara jo Ketetapan MPR
No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Selain itu
Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para Pendiri
Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa
Indonesia.
Namun di balik
itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan
ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa
mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik
serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul
pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Artikel ini sedapat mungkin
menghindari polemik dan kontroversi tersebut. Oleh karena itu artikel ini lebih
bersifat suatu "perbandingan" (bukan "pertandingan") antara
rumusan satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda.
Penempatan rumusan yang lebih awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang
lebih akhir.
Dari kronik
sejarah setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah
muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda
namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari
Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer
yang berkembang di masyarakat.
Daftar isi
Rumusan I: Moh. Yamin, Mr.
Pada sesi pertama persidangan
BPUPKI yang dilaksanakan pada
29 Mei –
1 Juni 1945 beberapa anggota
BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan
rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada
tanggal
29 Mei
1945 Mr.
Mohammad
Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik
dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin
mengemukakan lima calon dasar negara yaitu
[1]:
- Peri
Kebangsaan
- Peri
Kemanusiaan
- Peri
ke-Tuhanan
- Peri
Kerakyatan
- Kesejahteraan
Rakyat
Rumusan Tertulis
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai
rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh
Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang
dipresentasikan secara lisan, yaitu
[2]:
- Ketuhanan
Yang Maha Esa
- Kebangsaan
Persatuan Indonesia
- Rasa
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Dr.Soepomo
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo pun menyampaikan rumusan dasar negaranya,
yaitu:
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan
lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan
rakyat
Rumusan III: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin dan Soepomo, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul
dasar negara, di antaranya adalah Ir
Sukarno[3].
Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir
Pancasila.Namun masyarakat bangsa indonesia ada yang tidak setuju mengenai
pancasila yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syari'at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.Lalu diganti bunyinya menjadi Ketuhanan Yg Maha Esa. Usul
Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar
negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah
yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti
lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin)
yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut
dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila
[4].
Rumusan Pancasila [5]
- Kebangsaan
Indonesia - atau nasionalisme -
- Internasionalisme
- atau peri-kemanusiaan -
- Mufakat -
atau demokrasi -
- Kesejahteraan
sosial
- Ketuhanan
Rumusan Trisila [6]
- Sosio-nasionalisme
- Sosio-demokratis
- ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila [7]
- Gotong-Royong
Rumusan IV: Piagam Jakarta
Usulan-usulan
blue print Negara Indonesia telah dikemukakan
anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal
1 Juni 1945. Selama reses
antara
2 Juni
–
9 Juli 1945, 9 orang anggota
BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan
menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada
22 Juni 1945 panitia kecil
tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal.
Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian
dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk
menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara
golongan
Islam
yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang
menghendaki bentuk negara
sekuler di mana negara sama sekali tidak diperbolehkan
bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan
oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum
Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut
Piagam
Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan
dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan
kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan
rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".
Rumusan kalimat [8]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada
Piagam
Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam
BPUPKI sebagaimana
terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam
paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
[A] dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
[A.1] kemanusiaan yang adil dan
beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]
serta
[B] dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan
Indonesia
- Dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
- Serta
dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang
beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab
- Persatuan
Indonesia
- Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan
BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen
“Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara
resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan
Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen
berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang
diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa
perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14
Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan
dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang
dikenal oleh masyarakat luas
[9].
Rumusan kalimat [10]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan
Indonesia
- Dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
- Dengan
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan VI: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal
dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang)
menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal
17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa
Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya
A. A.
Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi
bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan,
Sukarno segera menghubungi
Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula,
wakil golongan Islam, di antaranya
Teuku Moh Hasan, Mr.
Kasman Singodimedjo, dan
Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul
penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka
menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi
keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam
rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk
menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar
negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini
merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia
hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat [11]
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan
Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
- Persatuan
Indonesia
- Dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
- Serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VII: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh
NICA menjadikan
wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949
Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta
(RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan
pemerintah kolonial Belanda dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI
pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri
mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan
seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara
terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui
pada
14
Desember 1949
oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat [12]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan
Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan
keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran.
Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung
dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian
yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT
[13],
dan NST
[14].
Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai
kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan
dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun
1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar
negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan)
UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat[15]
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- ke-Tuhanan
Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan
keadilan sosial
Rumusan IX: UUD 1945
Kegagalan
Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan
menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya
bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat
itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah
satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18
Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan
pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam
Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga
tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004,
dalam berbagai produk ketetapannya, di antaranya:
- Tap MPR
No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR
No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan.
Rumusan kalimat [16]
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
- Ketuhanan
Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
- Persatuan
Indonesia
- Dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
- Serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan X: Versi Berbeda[17]
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat
rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia.
Rumusan
- Ketuhanan
Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
- Persatuan
Indonesia
- Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan
sosial.
Rumusan XI: Versi Populer[18]
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan
diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah
yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai
rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD
1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan
suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
- Ketuhanan
Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
- Persatuan
Indonesia
- Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Epilog
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan
secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No
XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD
1945).
Catatan kaki
1.
^
Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang
BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg
RIselanjutnya disebut Risalah 2
3.
^
Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai
calon dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh.
Hatta, Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan
berpidato yang agak panjang. Hatta berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan
Supomo yang kelak menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara
Integralistik
12.
^
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
13.
^
Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi
dan pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan
Maluku
14.
^
Negara Sumatera Timur, wilayahnya meliputi bagian
timur provinsi Sumut (sekarang)
15.
^
Undang-Undang Dasar Sementara
16.
^
UUD 1945 (dekrit 1959), Tap MPR No XVIII/MPR/1998,
Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan
17.
^
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
18.
^
Tap MPR No II/MPR/1978
Referensi
- UUD 1945
- Konstitusi
RIS (1949)
- UUD
Sementara (1950)
- Berbagai
Ketetapan MPRS dan MPR RI
- Saafroedin
Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus
1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
- Tim
Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2.
Jakarta: Universitas Terbuka
Lihat pula